Monday, March 6, 2017

Sejarah Hadlarotus Syaikh KH. AHMAD RIFA'I

SEJARAH SINGKAT
HADLAROTUSSYAIKH KH. AHMAD RIFA'I
PAHLAWAN NASIONAL
PENENTANG KOLONIAL
DENGAN CARA BIL-KHIKMAH



Kiai Haji Ahmad Rifa’i lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1786. Ada juga yang menulis tahun 1785.
Ayahnya adalah Kiai Muhammad Marhum. Ibunya Siti Rahmah. Pada usia 7 tahun, dia sudah tidak mempunyai orangtua sehingga diasuh kakak kandungnya, Nyai Rajiyah, istri dari Kiai Asy’ari, seorang ulama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu. Ahmad Rifa’i lalu belajar ilmu agama kepada kakak iparnya itu.
Semasa muda, Ahmad Rifa’i sering melakukan kegiatan tabligh keliling di daerah Kendal dan sekitarnya. Masalah-masalah agama, sosial masyarakat, pemahaman terhadap kemerdekaan, dan antikolonial, selalu disampaikannya.
Karena itu, dia diperingatkan Pemerintah Hindia Belanda dan sempat dimasukkan penjara di Kendal dan Semarang. 
Pada 1833, Ahmad Rifa’i menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim di sana selama delapan tahun untuk mendalami ilmu agama.
Di sana, dia belajar kepada sejumlah ulama, antara lain Syekh Ibrahim al-Bajuri, Syekh Abdurrahman, Syek Isa al-Barawi, dan Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisy.
Ahmad Rifa’i juga bertemu dengan dua ulama terkenal dari Jawa yakni Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Bangkalan. Ketiganya prihatin dengan kondisi keagamaan di Indonesia.
Mereka sepakat mengadakan pembaruan dan permurnian Islam melalui pengajuian, dialog, dan penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Selain itu, ketiganya berbagi tugas untuk menulis buku. Rifa’i menulis buku yang membahas fikih, Nawawi buku ushuluddin, dan Kholil buku tasawuf.
Saat kembali ke Tanah Air, Ahmad Rifa’i lalu membantu kakak iparnya menjadi ustaz di Pondok Pesantren Kaliwungu. Sebagai ustaz yang baru datang dari Tanah Suci, Ahmad Rifa’i mendapat perhatian dan simpati dari para santrinya.
Namun, karena kritikannya yang tajam terhadap para penghulu di Kaliwungu dan sekitarnya, Ahmad Rifa’i dilaporkan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan tuduhan membuat kerusuhan. Pelaporan itu bertujuan agar pemerintah menangkap Ahmad Rifa’i.
Lalu, Pemerintah Belanda menangkap Ahmad Rifa’i untuk dimintai keterangan tentang kegiatan dakwahnya. Setelah dibebaskan, Ahmad Rifa’i dikucilkan dan keluar dari Kaliwungu serta ditempatkan di Kalisalak, Batang, Jawa Tengah.
Kalisalak dipilih karena merupakan daerah strategis untuk medan dakwah dan memudahkan kontak hubungan dengan semua pihak dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Di Kalisalak ini pula, Ahmad Rifai’i menikah dengan janda Demang Kalisalak Almarhum Martowidjojo, bernama Nyai Sujinah.
Selanjutnya, Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Metode mengajarnya sangat menarik yaitu dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk puisi sehingga santrinya bertambah dan berkembang menjadi Majelis Ta’lim bagi anak-anak dan orang dewasa di sekitar Batang.
Kemudian, Ahmad Rifa’i mendirikan pondok pesantren dan masjid di Kalisalak. Pondok pesantren yang terletak di tempat terpencil dan jauh dari jangkauan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda membuat Ahmad Rifa’i dapat berkonsentrasi dalam mendidik santri-santrinya.
Ahmad Rifa’i mendidik kader-kader militan untuk menjaga dan meneruskan ajarannya. Selain mengajar, dia juga menulis beberapa kitab dengan tulisan pegon (tulisan Arab dengan bahasa Jawa), kitab Tarajumah (terjemahan) yang berjumlah 60 buah judul berbentuk puisi tembang Jawa, prosa berbahasa Jawa dan Melayu yang isinya mencakup ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tasawuf, beberapa kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda, serta kritik terhadap pamong praja tradisional yang membantu Belanda.
Ahmad Rifa’i terus melakukan gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda dan birokrat tradisional melalui penggalangan pengikutnya.
Syair-syair karangan Ahmad Rifa’i juga dapat menanamkan rasa kebencian terhadap pemerintah Hindia Belanda dan mendorong serta membangkitkan semangat dan sikap antikolonial untuk menentang penguasa Belanda. Tahun 1856, kitab-kitab karya KH Ahmad Rifa’i disita Pemerintah Hindia Belanda.
Dia lalu kembali dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disidangkan dengan tuduhan menghasut, meresahkan, menanamkan doktrin antikolonialisme, dan mengarang syair-syair protes terhadap Belanda.
Pada 6 Mei 1859, secara resmi Ahmad Rifa’i dipanggil Residen Pekalongan Fransiscus Netscher untuk pemeriksaan serta pengasingan ke Ambon, Maluku. 13 hari kemudian, Ahmad Rifa’i meninggalkan jamaahnya beserta keluarganya menuju Ambon.
Setelah dua tahun di pengasingan, Ahmad Rifa’i mengirim empat buah judul kitab karangannya berbahasa Melayu, 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu, serta surat wasiat kepada anak menantunya Kiai Maufura bin Nawawi di Batang yang isinya agar murid dan keluarganya jangan sekali-kali taat kepada Pemerintah Hindia Belanda dan orang yang bekerja sama dengan Belanda.
Setelah diasingkan ke Ambon, Ahmad Rifa’i dipindahkan ke Manado, Sulawesi Utara, hingga akhirnya meninggal pada 25 Rabiul Awal 1286 H atau 4 Agustus 1869. Ada juga yang menulis tahun 1870.
Jenazahnya dimakamkan di Makam Pahlawan Kiai Modjo di Kampung Jawa, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Atas jasa dan pengorbanannya kepada bangsa dan negara, pada 5 November 2004 Ahmad Rifa’i dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 089/TK/Tahun 2004.

Kiai Haji Ahmad Rifa’i lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1786. Ada juga yang menulis tahun 1785.
Ayahnya adalah Kiai Muhammad Marhum. Ibunya Siti Rahmah. Pada usia 7 tahun, dia sudah tidak mempunyai orangtua sehingga diasuh kakak kandungnya, Nyai Rajiyah, istri dari Kiai Asy’ari, seorang ulama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu. Ahmad Rifa’i lalu belajar ilmu agama kepada kakak iparnya itu.
Semasa muda, Ahmad Rifa’i sering melakukan kegiatan tabligh keliling di daerah Kendal dan sekitarnya. Masalah-masalah agama, sosial masyarakat, pemahaman terhadap kemerdekaan, dan antikolonial, selalu disampaikannya.
Karena itu, dia diperingatkan Pemerintah Hindia Belanda dan sempat dimasukkan penjara di Kendal dan Semarang. (
Pada 1833, Ahmad Rifa’i menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim di sana selama delapan tahun untuk mendalami ilmu agama.
Di sana, dia belajar kepada sejumlah ulama, antara lain Syekh Ibrahim al-Bajuri, Syekh Abdurrahman, Syek Isa al-Barawi, dan Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisy.
Ahmad Rifa’i juga bertemu dengan dua ulama terkenal dari Jawa yakni Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Bangkalan. Ketiganya prihatin dengan kondisi keagamaan di Indonesia.
Mereka sepakat mengadakan pembaruan dan permurnian Islam melalui pengajuian, dialog, dan penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Selain itu, ketiganya berbagi tugas untuk menulis buku. Rifa’i menulis buku yang membahas fikih, Nawawi buku ushuluddin, dan Kholil buku tasawuf.
Saat kembali ke Tanah Air, Ahmad Rifa’i lalu membantu kakak iparnya menjadi ustaz di Pondok Pesantren Kaliwungu. Sebagai ustaz yang baru datang dari Tanah Suci, Ahmad Rifa’i mendapat perhatian dan simpati dari para santrinya.
Namun, karena kritikannya yang tajam terhadap para penghulu di Kaliwungu dan sekitarnya, Ahmad Rifa’i dilaporkan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan tuduhan membuat kerusuhan. Pelaporan itu bertujuan agar pemerintah menangkap Ahmad Rifa’i.
Lalu, Pemerintah Belanda menangkap Ahmad Rifa’i untuk dimintai keterangan tentang kegiatan dakwahnya. Setelah dibebaskan, Ahmad Rifa’i dikucilkan dan keluar dari Kaliwungu serta ditempatkan di Kalisalak, Batang, Jawa Tengah.
Kalisalak dipilih karena merupakan daerah strategis untuk medan dakwah dan memudahkan kontak hubungan dengan semua pihak dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Di Kalisalak ini pula, Ahmad Rifai’i menikah dengan janda Demang Kalisalak Almarhum Martowidjojo, bernama Nyai Sujinah.
Selanjutnya, Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Metode mengajarnya sangat menarik yaitu dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk puisi sehingga santrinya bertambah dan berkembang menjadi Majelis Ta’lim bagi anak-anak dan orang dewasa di sekitar Batang.
Kemudian, Ahmad Rifa’i mendirikan pondok pesantren dan masjid di Kalisalak. Pondok pesantren yang terletak di tempat terpencil dan jauh dari jangkauan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda membuat Ahmad Rifa’i dapat berkonsentrasi dalam mendidik santri-santrinya.
Ahmad Rifa’i mendidik kader-kader militan untuk menjaga dan meneruskan ajarannya. Selain mengajar, dia juga menulis beberapa kitab dengan tulisan pegon (tulisan Arab dengan bahasa Jawa), kitab Tarajumah (terjemahan) yang berjumlah 60 buah judul berbentuk puisi tembang Jawa, prosa berbahasa Jawa dan Melayu yang isinya mencakup ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tasawuf, beberapa kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda, serta kritik terhadap pamong praja tradisional yang membantu Belanda.
Ahmad Rifa’i terus melakukan gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda dan birokrat tradisional melalui penggalangan pengikutnya.
Syair-syair karangan Ahmad Rifa’i juga dapat menanamkan rasa kebencian terhadap pemerintah Hindia Belanda dan mendorong serta membangkitkan semangat dan sikap antikolonial untuk menentang penguasa Belanda. Tahun 1856, kitab-kitab karya KH Ahmad Rifa’i disita Pemerintah Hindia Belanda.
Dia lalu kembali dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disidangkan dengan tuduhan menghasut, meresahkan, menanamkan doktrin antikolonialisme, dan mengarang syair-syair protes terhadap Belanda.
Pada 6 Mei 1859, secara resmi Ahmad Rifa’i dipanggil Residen Pekalongan Fransiscus Netscher untuk pemeriksaan serta pengasingan ke Ambon, Maluku. 13 hari kemudian, Ahmad Rifa’i meninggalkan jamaahnya beserta keluarganya menuju Ambon.
Setelah dua tahun di pengasingan, Ahmad Rifa’i mengirim empat buah judul kitab karangannya berbahasa Melayu, 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu, serta surat wasiat kepada anak menantunya Kiai Maufura bin Nawawi di Batang yang isinya agar murid dan keluarganya jangan sekali-kali taat kepada Pemerintah Hindia Belanda dan orang yang bekerja sama dengan Belanda.
Setelah diasingkan ke Ambon, Ahmad Rifa’i dipindahkan ke Manado, Sulawesi Utara, hingga akhirnya meninggal pada 25 Rabiul Awal 1286 H atau 4 Agustus 1869. Ada juga yang menulis tahun 1870.
Jenazahnya dimakamkan di Makam Pahlawan Kiai Modjo di Kampung Jawa, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Atas jasa dan pengorbanannya kepada bangsa dan negara, pada 5 November 2004 Ahmad Rifa’i dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 089/TK/Tahun 2004.

No comments:

Post a Comment