Monday, March 6, 2017

Sejarah Hadlarotus Syaikh KH. AHMAD RIFA'I

SEJARAH SINGKAT
HADLAROTUSSYAIKH KH. AHMAD RIFA'I
PAHLAWAN NASIONAL
PENENTANG KOLONIAL
DENGAN CARA BIL-KHIKMAH



Kiai Haji Ahmad Rifa’i lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1786. Ada juga yang menulis tahun 1785.
Ayahnya adalah Kiai Muhammad Marhum. Ibunya Siti Rahmah. Pada usia 7 tahun, dia sudah tidak mempunyai orangtua sehingga diasuh kakak kandungnya, Nyai Rajiyah, istri dari Kiai Asy’ari, seorang ulama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu. Ahmad Rifa’i lalu belajar ilmu agama kepada kakak iparnya itu.
Semasa muda, Ahmad Rifa’i sering melakukan kegiatan tabligh keliling di daerah Kendal dan sekitarnya. Masalah-masalah agama, sosial masyarakat, pemahaman terhadap kemerdekaan, dan antikolonial, selalu disampaikannya.
Karena itu, dia diperingatkan Pemerintah Hindia Belanda dan sempat dimasukkan penjara di Kendal dan Semarang. 
Pada 1833, Ahmad Rifa’i menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim di sana selama delapan tahun untuk mendalami ilmu agama.
Di sana, dia belajar kepada sejumlah ulama, antara lain Syekh Ibrahim al-Bajuri, Syekh Abdurrahman, Syek Isa al-Barawi, dan Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisy.
Ahmad Rifa’i juga bertemu dengan dua ulama terkenal dari Jawa yakni Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Bangkalan. Ketiganya prihatin dengan kondisi keagamaan di Indonesia.
Mereka sepakat mengadakan pembaruan dan permurnian Islam melalui pengajuian, dialog, dan penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Selain itu, ketiganya berbagi tugas untuk menulis buku. Rifa’i menulis buku yang membahas fikih, Nawawi buku ushuluddin, dan Kholil buku tasawuf.
Saat kembali ke Tanah Air, Ahmad Rifa’i lalu membantu kakak iparnya menjadi ustaz di Pondok Pesantren Kaliwungu. Sebagai ustaz yang baru datang dari Tanah Suci, Ahmad Rifa’i mendapat perhatian dan simpati dari para santrinya.
Namun, karena kritikannya yang tajam terhadap para penghulu di Kaliwungu dan sekitarnya, Ahmad Rifa’i dilaporkan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan tuduhan membuat kerusuhan. Pelaporan itu bertujuan agar pemerintah menangkap Ahmad Rifa’i.
Lalu, Pemerintah Belanda menangkap Ahmad Rifa’i untuk dimintai keterangan tentang kegiatan dakwahnya. Setelah dibebaskan, Ahmad Rifa’i dikucilkan dan keluar dari Kaliwungu serta ditempatkan di Kalisalak, Batang, Jawa Tengah.
Kalisalak dipilih karena merupakan daerah strategis untuk medan dakwah dan memudahkan kontak hubungan dengan semua pihak dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Di Kalisalak ini pula, Ahmad Rifai’i menikah dengan janda Demang Kalisalak Almarhum Martowidjojo, bernama Nyai Sujinah.
Selanjutnya, Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Metode mengajarnya sangat menarik yaitu dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk puisi sehingga santrinya bertambah dan berkembang menjadi Majelis Ta’lim bagi anak-anak dan orang dewasa di sekitar Batang.
Kemudian, Ahmad Rifa’i mendirikan pondok pesantren dan masjid di Kalisalak. Pondok pesantren yang terletak di tempat terpencil dan jauh dari jangkauan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda membuat Ahmad Rifa’i dapat berkonsentrasi dalam mendidik santri-santrinya.
Ahmad Rifa’i mendidik kader-kader militan untuk menjaga dan meneruskan ajarannya. Selain mengajar, dia juga menulis beberapa kitab dengan tulisan pegon (tulisan Arab dengan bahasa Jawa), kitab Tarajumah (terjemahan) yang berjumlah 60 buah judul berbentuk puisi tembang Jawa, prosa berbahasa Jawa dan Melayu yang isinya mencakup ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tasawuf, beberapa kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda, serta kritik terhadap pamong praja tradisional yang membantu Belanda.
Ahmad Rifa’i terus melakukan gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda dan birokrat tradisional melalui penggalangan pengikutnya.
Syair-syair karangan Ahmad Rifa’i juga dapat menanamkan rasa kebencian terhadap pemerintah Hindia Belanda dan mendorong serta membangkitkan semangat dan sikap antikolonial untuk menentang penguasa Belanda. Tahun 1856, kitab-kitab karya KH Ahmad Rifa’i disita Pemerintah Hindia Belanda.
Dia lalu kembali dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disidangkan dengan tuduhan menghasut, meresahkan, menanamkan doktrin antikolonialisme, dan mengarang syair-syair protes terhadap Belanda.
Pada 6 Mei 1859, secara resmi Ahmad Rifa’i dipanggil Residen Pekalongan Fransiscus Netscher untuk pemeriksaan serta pengasingan ke Ambon, Maluku. 13 hari kemudian, Ahmad Rifa’i meninggalkan jamaahnya beserta keluarganya menuju Ambon.
Setelah dua tahun di pengasingan, Ahmad Rifa’i mengirim empat buah judul kitab karangannya berbahasa Melayu, 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu, serta surat wasiat kepada anak menantunya Kiai Maufura bin Nawawi di Batang yang isinya agar murid dan keluarganya jangan sekali-kali taat kepada Pemerintah Hindia Belanda dan orang yang bekerja sama dengan Belanda.
Setelah diasingkan ke Ambon, Ahmad Rifa’i dipindahkan ke Manado, Sulawesi Utara, hingga akhirnya meninggal pada 25 Rabiul Awal 1286 H atau 4 Agustus 1869. Ada juga yang menulis tahun 1870.
Jenazahnya dimakamkan di Makam Pahlawan Kiai Modjo di Kampung Jawa, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Atas jasa dan pengorbanannya kepada bangsa dan negara, pada 5 November 2004 Ahmad Rifa’i dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 089/TK/Tahun 2004.

Kiai Haji Ahmad Rifa’i lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1786. Ada juga yang menulis tahun 1785.
Ayahnya adalah Kiai Muhammad Marhum. Ibunya Siti Rahmah. Pada usia 7 tahun, dia sudah tidak mempunyai orangtua sehingga diasuh kakak kandungnya, Nyai Rajiyah, istri dari Kiai Asy’ari, seorang ulama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu. Ahmad Rifa’i lalu belajar ilmu agama kepada kakak iparnya itu.
Semasa muda, Ahmad Rifa’i sering melakukan kegiatan tabligh keliling di daerah Kendal dan sekitarnya. Masalah-masalah agama, sosial masyarakat, pemahaman terhadap kemerdekaan, dan antikolonial, selalu disampaikannya.
Karena itu, dia diperingatkan Pemerintah Hindia Belanda dan sempat dimasukkan penjara di Kendal dan Semarang. (
Pada 1833, Ahmad Rifa’i menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim di sana selama delapan tahun untuk mendalami ilmu agama.
Di sana, dia belajar kepada sejumlah ulama, antara lain Syekh Ibrahim al-Bajuri, Syekh Abdurrahman, Syek Isa al-Barawi, dan Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisy.
Ahmad Rifa’i juga bertemu dengan dua ulama terkenal dari Jawa yakni Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Bangkalan. Ketiganya prihatin dengan kondisi keagamaan di Indonesia.
Mereka sepakat mengadakan pembaruan dan permurnian Islam melalui pengajuian, dialog, dan penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Selain itu, ketiganya berbagi tugas untuk menulis buku. Rifa’i menulis buku yang membahas fikih, Nawawi buku ushuluddin, dan Kholil buku tasawuf.
Saat kembali ke Tanah Air, Ahmad Rifa’i lalu membantu kakak iparnya menjadi ustaz di Pondok Pesantren Kaliwungu. Sebagai ustaz yang baru datang dari Tanah Suci, Ahmad Rifa’i mendapat perhatian dan simpati dari para santrinya.
Namun, karena kritikannya yang tajam terhadap para penghulu di Kaliwungu dan sekitarnya, Ahmad Rifa’i dilaporkan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan tuduhan membuat kerusuhan. Pelaporan itu bertujuan agar pemerintah menangkap Ahmad Rifa’i.
Lalu, Pemerintah Belanda menangkap Ahmad Rifa’i untuk dimintai keterangan tentang kegiatan dakwahnya. Setelah dibebaskan, Ahmad Rifa’i dikucilkan dan keluar dari Kaliwungu serta ditempatkan di Kalisalak, Batang, Jawa Tengah.
Kalisalak dipilih karena merupakan daerah strategis untuk medan dakwah dan memudahkan kontak hubungan dengan semua pihak dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Di Kalisalak ini pula, Ahmad Rifai’i menikah dengan janda Demang Kalisalak Almarhum Martowidjojo, bernama Nyai Sujinah.
Selanjutnya, Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Metode mengajarnya sangat menarik yaitu dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk puisi sehingga santrinya bertambah dan berkembang menjadi Majelis Ta’lim bagi anak-anak dan orang dewasa di sekitar Batang.
Kemudian, Ahmad Rifa’i mendirikan pondok pesantren dan masjid di Kalisalak. Pondok pesantren yang terletak di tempat terpencil dan jauh dari jangkauan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda membuat Ahmad Rifa’i dapat berkonsentrasi dalam mendidik santri-santrinya.
Ahmad Rifa’i mendidik kader-kader militan untuk menjaga dan meneruskan ajarannya. Selain mengajar, dia juga menulis beberapa kitab dengan tulisan pegon (tulisan Arab dengan bahasa Jawa), kitab Tarajumah (terjemahan) yang berjumlah 60 buah judul berbentuk puisi tembang Jawa, prosa berbahasa Jawa dan Melayu yang isinya mencakup ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tasawuf, beberapa kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda, serta kritik terhadap pamong praja tradisional yang membantu Belanda.
Ahmad Rifa’i terus melakukan gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda dan birokrat tradisional melalui penggalangan pengikutnya.
Syair-syair karangan Ahmad Rifa’i juga dapat menanamkan rasa kebencian terhadap pemerintah Hindia Belanda dan mendorong serta membangkitkan semangat dan sikap antikolonial untuk menentang penguasa Belanda. Tahun 1856, kitab-kitab karya KH Ahmad Rifa’i disita Pemerintah Hindia Belanda.
Dia lalu kembali dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disidangkan dengan tuduhan menghasut, meresahkan, menanamkan doktrin antikolonialisme, dan mengarang syair-syair protes terhadap Belanda.
Pada 6 Mei 1859, secara resmi Ahmad Rifa’i dipanggil Residen Pekalongan Fransiscus Netscher untuk pemeriksaan serta pengasingan ke Ambon, Maluku. 13 hari kemudian, Ahmad Rifa’i meninggalkan jamaahnya beserta keluarganya menuju Ambon.
Setelah dua tahun di pengasingan, Ahmad Rifa’i mengirim empat buah judul kitab karangannya berbahasa Melayu, 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu, serta surat wasiat kepada anak menantunya Kiai Maufura bin Nawawi di Batang yang isinya agar murid dan keluarganya jangan sekali-kali taat kepada Pemerintah Hindia Belanda dan orang yang bekerja sama dengan Belanda.
Setelah diasingkan ke Ambon, Ahmad Rifa’i dipindahkan ke Manado, Sulawesi Utara, hingga akhirnya meninggal pada 25 Rabiul Awal 1286 H atau 4 Agustus 1869. Ada juga yang menulis tahun 1870.
Jenazahnya dimakamkan di Makam Pahlawan Kiai Modjo di Kampung Jawa, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Atas jasa dan pengorbanannya kepada bangsa dan negara, pada 5 November 2004 Ahmad Rifa’i dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 089/TK/Tahun 2004.

Keistimewa'an Dan Kemulia'an KH. Abdul Hamid Pasuruan

KEISTIMEWA'AN DAN KEMULIA'AN
SERTA PETUAH-PETUAH
KH. ABDUL HAMID PASURUAN

Suatu ketika ada seseorang meminta nomer togel ke Kyai Hamid. Oleh Kyai Hamid diberi dengan syarat jika dapat togel maka uangnya harus dibawa kehadapan Kyai Hamid. Maka orang tersebut benar-benar memasang nomer pemberian Kyai Hamid dan menang. Saran ditaati uang dibawa kehadapan Kyai Hamid. Oleh kyai uang tersebut dimasukan ke dalam bejana dan disuruh melihat apa isinya. Terlihat isinya darah dan belatung. Kyai Hamid berkata “tegakah saudara memberi makan anak istri saudara dengan darah dan belatung?” Orang tersebut menangis dan bertobat.

Setiap pergi ke manapun Kyai Hamid selalu didatangi oleh umat, yang berduyun duyun meminta doa padanya. Bahkan ketika naik haji ke mekkah pun banyak orang tak dikenal dari berbagai bangsa yang datang dan berebut mencium tangannya. darimana orang tau tentang derajat Kyai Hamid? Mengapa orang selalu datang memuliakannya? Konon inilah keistimewaan beliau, beliau derajatnya ditinggikan oleh Allah SWT.

Pada suatu saat orde baru ingin mengajak Kyai Hamid masuk partai pemerintah. Kyai Hamid menyambut ajakan itu dengan ramah dan menjamu tamunya dari kalangan birokrat. Ketika surat persetujuan masuk partai pemerintah itu disodorkan bersama pulpennya, Kyai Hamid menerimanya dan menandatanganinya. Anehnya pulpen tak bisa keluar tinta, diganti polpen lain tetap tak mau keluar tinta. Akhirnya Kyai Hamid berkata: “Bukan saya yang gak mau tanda tangan, tapi bolpointnya gak mau”. Itulah Kyai Hamid dia menolak dengan cara yang halus dan tetap menghormati siapa saja yang bertamu kerumahnya.

Inilah beberapa dari banyak karomah Kyai Hamid. Kyai Hamid adalah realita nyata tentang munculnya seorang hamba Allah yang mempunyai kekuatan ma’rifat billah yang mumpuni dan kekuatan musyahadah atas nur tajalli dengan maqam wilayah yang amat tinggi. Dan kekuatan tersebut tentu tidak mungkin beliau dapatkan dengan serta merta tanpa melalui tahapan-tahapan amaliyah dan maqamat tarekat yang beliau jalani dan beliau istiqamahkan. Setidaknya -dari sirah Kyai Hamid yang dapat kita baca-, kualitas amaliyah dan maqamat itulah yang selalu beliau pancarkan dalam setiap gerak langkah beliau. Kewara’an, kezuhudan, ketawadlu’an, kesabaran, keistiqamahan, dan riyadlah.

Dan yang jelas, kekuatan ma’rifat dan wilayah tersebut hingga saat ini telah menjadi hamparan hikmah yang maha luas dan menebarkan harum pada sanubari tiap orang yang mengenalnya. Hingga siapapun tak akan pernah kehabisan untuk mengais suri tauladan atas keagungan akhlaknya dan menempa keberkahan yang telah beliau sebarkan dalam setiap relung hati dan palung hidup kita.

Sebelum menjadi kyai, semasa beliau mondok di Termas, Abdul Hamid (nama asli Kyai Hamid) banyak melakukan suluk tarekat secara sirri. Seperti sering pergi ke gunung dekat pondok Termas untuk melakukan khalwat dan dzikir. Tapi kalau ada orang datang, ia pura-pura mantheg (mengetapel) agar orang tidak tahu bahwa dia sedang berkhalwat. Amalan wirid juga sering beliau baca disela-sela aktifitasnya sebagai seorang santri. Bahkan, ketika sering diajak begadang untuk mencari jangkrik, Kyai Hamid segera membaca wirid ketika teman-temannya tidak melihatnya.

Lambat laun, aktifitas suluk Kyai Hamid dengan dzikir sirri (qalbi) dan membaca awrad semakin intens dilakukan di kamar Pondok. Bahkan diceritakan, semakin hari, Kyai Hamid semakin jarang keluar dari kamar untuk melakukan dzikir dan wirid tarekat tersebut. Sampai-sampai, kawan-kawannya menggodanya dengan mengunci pintu kamar dari luar.

Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.

Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.

Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.

Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.

Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi. Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.

Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”

Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).

Tanggal 9 rabiul awal 1403 H beliau berpulang ke rahmatulloh. Umat menangis, gerak kehidupan di Pasuruan seakan terhenti. Ratusan ribu orang membanjiri Pasuruan, memenuhi relung Masjid Agung Al Anwar dan alun alun serta memadati gang dan ruas jalan. Beliau dimakamkan di belakang masjid agung Pasuruan. Ribuan umat menziarahinya setiap waktu mengenang jasa dan cinta beliau kepada umat.

Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah wirid kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. 

Diantara ijazah beliau adalah:
1. Membaca SURAT AL-FATIHAH 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang tak terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali.
2. Membaca HASBUNALLAH WA NI’MAL WAKIL sebanyak 450 kali sehari semalam.
3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.
4. Membaca kitab DALA’ILUL KHAIRAT. Kitab yang berisi kumpulan shalawat.
5. Wirid rutin AL-WIRD AL-LATHIF dan RATIB AL-HADDAD. Dua wirid yang diajarkan oleh Kyai Hamid dan diwariskan hingga sekarang kepada para santri dan keluarganya.
Terakhir, berikut Syiir doa beliau yang pernah dimuat di KWA
بسم الله الرّحمن الرّحيم
يَا رَبَّنا اعْتَرَفْنا * بِأَنَّنَا اقْتَرَفْنَا
Wahai Tuhan kami! kami mengakui telah berbuat dosa
وَاَنَّنَا اَسْرَفْنَا * عَلَى لَظَى اَشْرَفْنَا
Sungguh kami telah melampaui batas dan kami hampir masuk neraka ladho
فَتُبْ عَلَيْنَا تَوْبَةْ * تَغْسِلْ لِكُلِّ حَوْبَةْ
Maka berilah kami taubat, sucikanlah kami dari segala dosa
وَاسْتُرْ لَنَا الْعَوْرَاتِ * وَاَمِنِ الرَّوْعَاتِ
Tutuplah segala keburukan kami, amankanlah dari segala ketakutan
وَاغْفِرْ لِوَالِدِيْنَا * رَبِّ وَمَوْلُوْدِيْنَا
Wahai Tuhan ampunilah orang tua kami dan anak-anak kami
وَالْاَلِ وَالْاِخْوَانِ * وَسَائِرِالْخِلَّانِ
Ampunilah keluarga, teman-teman dan semua saudara
وَكُلِّ ذِيْ مَحَبَّةَ * أَوْ جِيْرَةٍ أَوْ صُحْبَحْ
Ampunilah kekasih, tetangga dan semua sahabat
وَالْمُسْلِمِيْنَ اَجْمَعْ * اَمِيْنَ رَبِّ اِسْمَعْ
serta semua muslim, Wahai Tuhan semoga Kau dengar kau kabulkan
فَضْلًا وَجُوْدًا مَّنَّا * لَا بِاكْتِسَابٍ مِنَّا 
Dengan anugrah, kemurahan, dan kemuliaanMu, bukanlah sebab usaha kami
بِاالْمُصْطَفَى الرَّسُوْلِ * نَحْظَى بِكُلِّ سُوْلِ
Dengan wasilah Rasul Terpilih, kami peroleh segala permintaan
صَلَّى وَسَلَّمْ رَبِّ * عَلَيْهِ عَدَّ الْحَبِّ
Semoga Allah memberi rahmat dan keselamatan kepada Rasul sebanyak bijian (sebanyak-banyaknya).
وَاَلِهِ وَالصَّحْبِ * عَدَدَ طَشِّ السُّحْبِ
Kepada dan keluarganya sebanyak rintikan hujan yang turun
وَالْحَمْدُ لِلْاِلَهِ * فِيْ الْبَدْءِ وَالتَّنَاهِى
Segala puji bagi Allah dari permulaan dan penghabisan